Menu Bar

Galleri

Nusron Wahid photo pelantikan-46_zps70311a51.jpg" border="0" alt=" photo _MG_3342_resize_zpsbeebd5ee.jpg"/>" style border="0" width="320" height="200" /> Pelantikan photo _DSC4079_zpsc3c751d3.jpg" border="0" alt=" photo _MG_3348_resize_zps381f25e0.jpg"/>]" style border="0" width="320" height="200" />  photo _MG_3294_resize_zpsc7426b4a.jpg" border="0" alt=" photo _MG_3294_resize_zpsc7426b4a.jpg"/>" style border="0" width="320" height="200" />

Senin, 02 Desember 2013

Riak-riak Demokrasi

ADA sebuah kalimat yahudi yang menarik untuk dikaji kedalaman realitanya, “Kami menjadikan pemimpin-pemimpin Negara dari boneka-boneka yang kami ciptakan”.
Beberapa hari ini Indonesia digegerkan oleh penangkapan ketua MK oleh KPK, menarik karena
MK merupakan salah satu lembaga yang dibentuk dan dikenal “penegak” setegak-tegaknya hukum di negeri ini. Namun nyatanya sistem keamanan dari koruptor negara kita masih sangat lemah dan rawan ditembus oleh para abdi negaranya sendiri.
Benarkah ini yang disebut salah satu dewan penasehat Demokrat sebagai “arisan” KPK? Mari kitamengingat kembali ketika media ramai memberitakan kasus penangkapan beberapa elit Partai Demokrat, termasuk ketua umumnya kala itu, salah satu dewan penasehat PD menyebutnya sebagai “arisan” KPK, dan kini Golkar yang keluar namanya setelah PD dan PKS.
Tentu saja kejadian tokoh besar masuk rumah KPK ini sangat berkaitan dengan persiapan menghadapi 2014 nanti, hajat besar politisi-politisi Indonesia. Beberapa hasil survei menempatkan PDI Perjuangan dan Golkar berada pada posisi atas, dan dapat dipastikan ada yang tidak senang dengan hal itu.
Jika kita seksama memperhatikan materi berita dan kedekatan atau kepemilikan media dengan tokoh politik, pertarungan ini pun semakin jelas terasa. Seperti detik yang pada kasus MK ini berani menuliskan judul, “SBY: Terima Kasih KPK….”, atau menuliskan nama Partai Golkar dalam redaksi berita tentang kasus ini. Tentu kita melihat perbandingan media detik.com ketika memberitakan kasus century, ketajamannya jauh di bawah TV One atau Vivanews (punya keluarga besar Ketua Umum Partai Golkar) yang sekarang lebih lembut.
Dari segi isi, satu orang SBY hari ini memangku jabatan sebagai Presiden RI juga pemegang kendali penuh Partai Demokrat. Siapa yang dapat menjamin bahwa ucapannya adalah murni sebagai salah satu diantara kedua jabatan tersebut? Hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Media yang seharusnya menjadi pilar ke-4 demokrasi, kini hanya menjadi alat siapa yang bayar atau menjadi kepentingan pemerintah, atau bahkan keinginan bos besar yang juga aktor politik.
Ketua MK tidak ditangkap sendirian, melainkan bersama beberapa “agen” Partai Golkar salah satunya Tubagus Chaeri Wardhana (Wawan), putra mahkota Banten, pengusaha sukses dan juga merupakan adik Gubernur Banten, salah satu kader loyal Partai Golkar. Menurut sebagian kalangan, inilah sebaik-baik kado untuk Banten diusia keramat, 13 tahun.
Tertangkapnya putra mahkota Banten baru permukaannya saja, jalan masuk menuju pengkebirian Partai Golkar. Keluarga besar Tb. Chasan Sochib (Alm) dikenal sangat loyal terhadap partai bergambar pohon beringin tersebut, bahkan disebut-sebut cukup disegani ditingkat nasional. Tidak hanya Atut dan Wawan, melainkan hampir semua klan Rau bisa dipastikan sangat loyal terhadap partai orde baru ini.
Keluarga Siapa Berikutnya?
Kita tidak bisa memungkiri atau pura-pura menutup mata, bahwa di Indonesia pihak keluarga seorang pejabat atau aktor politik selalu diutamakan menempati posisi-posisi penting atau mendapat pelayanan khusus dalam mengakses fasilitas pemerintah termasuk anggaran. Selama 13 tahun menjadi provinsi, Banten lebih dicitrakan menjadi milik satu keluarga atau “Klan Rau”. Namun setelah ini, sepertinya ada beberapa klan yang sudah mengantri. Seperti yang serupa terjadi di daerah-daerah Banten yang dipimpin bukan oleh keluarga Rau, seperti Bupati Jaya Baya yang “menurunkan” tahta jabatannya ke Iti Oktavia, upaya Walikota Tangerang Wahidin Halim menjadikan adiknya yang berbeda partai menjadi penerusnya.Mantan Bupati Pandeglang dan istri, dan Walikota Cilegon yang juga menurunkan tahtanya ke putera mahkota. Ditingkat nasional, SBY juga melakukan upaya hal yang serupa.
Entah apakah karena memang nenek moyang Indonesia menganut kerajaan, atau doktrin orangtua untuk selalu saling mengangkat harkat derajat martabat keluarga, namun begitu perilaku mengedepankan keluarga agar hidup “enak” harus senantiasa diiringi dengan proses yang fair.
Kita tidak bisa memaksakan kehendak harus adik, cucu, ponakan, menantu yang prosesnya seperti tidak ada lagi orang yang mampu. Begitu juga kita tidak bisa memangkas hak keluarga untuk berkiprah yang mungkin akan sama dengan sanak familinya.
Kasus raja-raja kecil dalam era otonomi dan demokrasi ini sudah banyak diperkirakan oleh beberapa pakar. Sistem politik dan hukum kita terlalu menganut ke eropa, dimana kita sudah hampir melupakan identitas dan falsafah bernegara yang baik dan benar sesuai dengan harapan nenek moyang yang telah berjuang. Demokrasi adalah pilihan, tapi Pancasila adalah perjuangan.

Penulis: Tubagus Adam Ma’rifat, Wakil Sekretaris GP Ansor Provinsi Banten

Diambil dari www.gp-ansor.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar