ADA sebuah kalimat yahudi yang menarik untuk dikaji kedalaman realitanya, “Kami menjadikan pemimpin-pemimpin Negara dari boneka-boneka yang kami ciptakan”.
Beberapa
hari ini Indonesia digegerkan oleh penangkapan ketua MK oleh KPK,
menarik karena
MK merupakan salah satu lembaga yang dibentuk dan dikenal
“penegak” setegak-tegaknya hukum di negeri ini. Namun nyatanya sistem keamanan dari koruptor negara kita masih sangat lemah dan rawan ditembus oleh para abdi negaranya sendiri.
Benarkah ini yang disebut salah satu dewan penasehat Demokrat sebagai “arisan” KPK? Mari kitamengingat kembali ketika media ramai memberitakan kasus penangkapan beberapa elit Partai
Demokrat, termasuk ketua umumnya kala itu, salah satu dewan penasehat
PD menyebutnya sebagai “arisan” KPK, dan kini Golkar yang keluar namanya
setelah PD dan PKS.
Tentu
saja kejadian tokoh besar masuk rumah KPK ini sangat berkaitan dengan
persiapan menghadapi 2014 nanti, hajat besar politisi-politisi
Indonesia. Beberapa hasil survei menempatkan PDI Perjuangan dan Golkar berada pada posisi atas, dan dapat dipastikan ada yang tidak senang dengan hal itu.
Jika
kita seksama memperhatikan materi berita dan kedekatan atau kepemilikan
media dengan tokoh politik, pertarungan ini pun semakin jelas terasa.
Seperti detik yang pada kasus MK ini berani menuliskan judul, “SBY:
Terima Kasih KPK….”, atau menuliskan nama Partai Golkar dalam redaksi berita tentang kasus ini. Tentu kita melihat perbandingan media detik.com ketika memberitakan kasus century, ketajamannya jauh di bawah TV One atau Vivanews (punya keluarga besar Ketua Umum Partai Golkar) yang sekarang lebih lembut.
Dari segi isi, satu orang SBY hari ini memangku jabatan sebagai Presiden RI juga pemegang kendali penuh Partai Demokrat. Siapa yang dapat menjamin bahwa ucapannya adalah murni sebagai salah satu diantara kedua jabatan tersebut? Hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Media
yang seharusnya menjadi pilar ke-4 demokrasi, kini hanya menjadi alat
siapa yang bayar atau menjadi kepentingan pemerintah, atau bahkan
keinginan bos besar yang juga aktor politik.
Ketua MK tidak ditangkap sendirian, melainkan bersama beberapa “agen” Partai Golkar
salah satunya Tubagus Chaeri Wardhana (Wawan), putra mahkota Banten,
pengusaha sukses dan juga merupakan adik Gubernur Banten, salah satu
kader loyal Partai Golkar. Menurut sebagian kalangan, inilah sebaik-baik kado untuk Banten diusia keramat, 13 tahun.
Tertangkapnya putra mahkota Banten baru permukaannya saja, jalan masuk menuju pengkebirian Partai
Golkar. Keluarga besar Tb. Chasan Sochib (Alm) dikenal sangat loyal
terhadap partai bergambar pohon beringin tersebut, bahkan disebut-sebut
cukup disegani ditingkat nasional. Tidak hanya Atut dan Wawan, melainkan
hampir semua klan Rau bisa dipastikan sangat loyal terhadap partai orde baru ini.
Keluarga Siapa Berikutnya?
Kita
tidak bisa memungkiri atau pura-pura menutup mata, bahwa di Indonesia
pihak keluarga seorang pejabat atau aktor politik selalu diutamakan
menempati posisi-posisi penting atau mendapat pelayanan khusus dalam
mengakses fasilitas pemerintah termasuk anggaran. Selama 13 tahun
menjadi provinsi, Banten lebih dicitrakan menjadi milik satu keluarga
atau “Klan
Rau”. Namun setelah ini, sepertinya ada beberapa klan yang sudah
mengantri. Seperti yang serupa terjadi di daerah-daerah Banten yang
dipimpin bukan oleh keluarga Rau, seperti Bupati Jaya Baya yang
“menurunkan” tahta jabatannya ke Iti Oktavia, upaya Walikota Tangerang Wahidin Halim menjadikan adiknya yang berbeda partai menjadi penerusnya.Mantan Bupati Pandeglang dan istri, dan Walikota Cilegon yang juga menurunkan tahtanya ke putera mahkota. Ditingkat nasional, SBY juga melakukan upaya hal yang serupa.
Entah
apakah karena memang nenek moyang Indonesia menganut kerajaan, atau
doktrin orangtua untuk selalu saling mengangkat harkat derajat martabat
keluarga, namun begitu perilaku mengedepankan keluarga agar hidup “enak”
harus senantiasa diiringi dengan proses yang fair.
Kita
tidak bisa memaksakan kehendak harus adik, cucu, ponakan, menantu yang
prosesnya seperti tidak ada lagi orang yang mampu. Begitu juga kita
tidak bisa memangkas hak keluarga untuk berkiprah yang mungkin akan sama
dengan sanak familinya.
Kasus raja-raja kecil dalam era otonomi dan demokrasi ini sudah banyak diperkirakan oleh beberapa pakar. Sistem
politik dan hukum kita terlalu menganut ke eropa, dimana kita sudah
hampir melupakan identitas dan falsafah bernegara yang baik dan benar
sesuai dengan harapan nenek moyang yang telah berjuang. Demokrasi adalah
pilihan, tapi Pancasila adalah perjuangan.
Penulis: Tubagus Adam Ma’rifat, Wakil Sekretaris GP Ansor Provinsi Banten
Diambil dari www.gp-ansor.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar